KENALI WALI 9 @ WALI SONGO
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai
penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 15 dan 16. Mereka tinggal di
tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi
Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu
banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar
dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu
tempat berkumpulnya para wali yang paling awal. Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo.
Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada
sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata
songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini
adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun
1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara);
Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan
Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari
Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh
Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi
pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam
bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai
siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama
yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
* Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
* Sunan Ampel atau Raden Rahmat
* Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
* Sunan Drajat atau Raden Qasim
* Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
* Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
* Sunan Kalijaga atau Raden Said
* Sunan Muria atau Raden Umar Said
* Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik,
Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari
Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang
Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia
Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[1]
Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali
pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa
yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan
ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim
dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang
istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap
sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta,
Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah
cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Bonang, sederetan gong kecil diletakkan
horisontal.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan
merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel
dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang
banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk
agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati,
yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah
dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya.
Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek
van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan
Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat
pada tahun 1525.
Sunan Drajat atau Raden Qasim
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan
merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel
dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat
banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan,
kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari
agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah
perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang
macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok
peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah
keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki
peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima
perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum
penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan
Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu
peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya
bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550.
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri
adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel
dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri
di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam
di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah
satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama
Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga atau Raden Said
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang
bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk
Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti
Maulana Ishaq.
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra
Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi
Sujinah, putri Sunan Ngudung.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa
Barat.Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah
putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak
ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak
dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat
dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan
Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan
kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi
cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
No comments:
Post a Comment